Selasa, 27 Mei 2008

Bukan Sangkar Emas

Sudah beberapa hari ini rumahku bak kapal pecah, berantakan! Biarin, aku lagi nggak peduli. Eh, memang aku sengaja deh biar suamiku “ngeh” kalau aku lagi melakukan aksi unjuk diam. Bukan diam mulut tapi diam nggak ngapa-ngapain. Tapi yang bikin gemes, dia cuek aja.

“Jadi liburnya kapan, Yah?” Entah untuk yang keberapa kali aku menanyakan hal ini pada suamiku. Bukan apa-apa, sudah beberapa kali pula suamiku selalu mengumumkan penangguhan libur di tempat kerjanya. Padahal anak-anak sudah bosan main di rumah, nggg...aku juga sih, bosan di rumah terus.

“Masih belum tahu. Soalnya jadwal baru belum disusun di kantor” suamiku menjawab ringan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV, serius mengikuti perkembangan Palestina di BBC.

“Selalu nggak jelas begitu. Nggak professional!” Aku beranjak ke meja komputer. Raihan dan Rauda, kedua anakku sudah terlelap setelah aku tunaikan rutinitas mendongeng untuk mereka. Mending internetan! Tapi...ah, baru saja kubuka situs langgananku, tiba-tiba Rauda bangun lagi dan merengek minta aku kembali ke kamar.

Hhhhh…kenapa sih bangun lagi, batinku. “Yah, tolong tuh Rauda ditemani bobo.”

“Sini, Rauda...”

Rauda makin ribut. Ugh, bukannya dijemput! Lha kalau lagi ngambek begitu Rauda mana bergeming?

“Tolong dong dijemput, Yah. Bunda mau internetan” Aku mulai kesal.

Tak ada respon.

“Setiap hari beginiiii terus... Kapan Bunda punya waktu untuk diri sendiri, kapan punya waktu untuk memperluas wawasan…kalau dari pagi sampai malam cuma capek dan sibuk ngurus anak-anak, ngurus ayah, ngurus rumah…” Dan bla-bla-bla…rasanya puncak kekesalanku sudah mencapai ujung rambut. Rauda jadi cemas, rengekkannya berubah menjadi tangis kencang.

*****



Awalnya tak pernah terbayang olehku, bahwa hidup bisa sedemikian cepat berubah. Terlalu sangat tiba-tiba, malah. Dulu aku terbiasa sibuk dengan organisasi kampus, kemudian kerja di kantor, juga organisasi sosial kemasyarakatan. Pergi pagi pulang malam, hhmmm...sampai nggak sempat belajar bagaimana caranya mengurus rumah. Ups! Aktivitas yang satu itu memang aku paling malas, apalagi memasak! Dan disaat sibuk meneruskan kuliah Masterku, tiba-tiba seseorang datang meminang, aku jadi kelabakan. Apalagi jeda waktu persiapannya begitu pendek, sampai sulit rasanya untuk bernapas. Tapi pernikahan memang perlu disegerakan, agar tidak timbul fitnah, apalagi untuk kami yang sedang merantau di negeri orang. Alhamdulillah, pada akhirnya segala urusan lancar. Hanya saja, setelahnya aku sempat terseok-seok menyelesaikan thesisku karena aku dan suamiku memutuskan untuk tidak menolak amanah, memiliki anak.

Beruntung profesorku orang yang baik dan mau mengerti kondisiku. Aku banyak diberi kelonggaran-kelonggaran termasuk waktu kuliahku yang diperpanjang. Aku berhasil menyelesaikan studiku, saat Raihan berusia 6 bulan. Tak sampai setahun kemudian aku kembali dikaruniai anak kedua. Maka sejak saat itulah aku mulai belajar mengubur angan-angan, beraktifitas di luar rumah dan berkarir.

Mungkin kalau aku tega, bisa saja anak-anak aku titip di tempat penitipan anak seperti saran profesorku dulu saat aku kelimpungan membagi waktu antara menyelesaikan thesisku dan mengurus keluarga. Tapi aku tidak rela dan tega. Anak-anakku butuh ASI bundanya setiap saat mereka haus, butuh dekapan dan belaian sayang saat merasa cemas atau sakit, dan yang pasti aku ingin mendidik anak-anakku aqidah Islam sejak usia dini. Tentu ada konsekuensinya. Seluruh waktuku otomatis terpaku pada urusan suami, anak dan rumah. 24 jam sehari! Layaknya para perantau, di negeri ini, semua harus dikerjakan sendiri karena tenaga manusia teramat sangat mahal. Awalnya aku begitu bahagia dan bangga, bisa mengurus segala sesuatu dengan tanganku sendiri. Setiap bulan, saat menelpon mama di Jakarta ada saja laporan resep masakan yang telah sukses aku praktekkan.

Tapi lama kelamaan kerja rutin 24 jam itu membuatku bosan dan aku merasa otakku makin tumpul. Aku jadi cepat lupa, jangankan untuk mempertahankan jumlah vocab bahasa Inggrisku, bahkan untuk mengingat hari dan tanggal saja aku sering kewalahan! Mau bergaul dengan tetangga juga susah, selain mereka individual, bahasanyapun aku tak begitu mengerti karena bahasa utama mereka bukan bahasa Inggris. Sementara suamiku... ah, dia asyik sendiri dengan kuliah dan kerjanya. Kalau sudah begitu, ingin rasanya segera pulang ke tanah air. Aku bisa lebih banyak beraktifitas disana, tidak seperti disini. Semakin hari aku merasa semakin suntuk dan terpuruk, seperti burung dalam sangkar emas...

*****



Beberapa hari belakangan suamiku tampak sibuk di depan komputer. Setelah makan malam dan sholat, dia akan serius mengetik sampai larut malam. Hhhh... paling-paling mengerjakan thesisnya, tulisan-tulisannya atau tugas-tugas kantor. Aku tidak peduli. Setelah capek seharian aku lebih memilih langsung tidur bersama anak-anak.

“Coba tolong dibaca, Nda. Barangkali ada yang kurang” Suamiku menyodorkan beberapa lembar kertas.

Sejenak kupandangi saja kertas-kertas ditangannya. Tak berminat. Dulu, saat aku masih kuliah dia biasa minta tanggapan dan masukan-masukan dariku untuk setiap tulisan-tulisan yang dibuatnya, entah tugas kuliah atau tugas kantornya. Begitu juga sebaliknya dia akan membantu dan memberi kritiknya untuk tugas-tugas kuliahku. Tapi belakangan aku sudah malas, selain capek membaca dan mencerna tulisan berbahasa Inggris itu, aku juga merasa patah arang. Untuk apa, toh aku hanya akan mengurusi rumah saja.

“Baca dulu dong, say...”

Ugh, maksa lagi! Setengah hati kuambil kertas-kertas itu. Lho ini kan draft proposal untuk kuliah S3... kulihat juga lembar-lembar CVku dan beberapa tulisan yang dulu pernah dikerjakan suamiku. Wah, nggak nyangka, ternyata dia pakai juga masukan-masukanku untuk tulisan-tulisannya, dan mencantumkan namaku sebagai co-authornya.

“Gimana, kalau masih ada yang kurang bisa cepat dilengkapi. Biar Ayah bisa segera kirim ke Universitas”

Aku diam, masih takjub.

“Kalau sudah nggak ada yang kurang, cepat Bunda tanda tangani surat permohonannya, ya”

“Anak-anak...Biayanya...” Ya, saat itu yang terpikir olehku bagaimana nasib anak-anak. Siapa yang akan mengurus mereka kalau Bundanya kuliah lagi, dan dari mana kami bisa membayar biaya kuliah yang mahal sedangkan untuk mendapat beasiswa susahnya bukan main.

“Bunda baca lagi deh pelan-pelan. Itu kan proposal untuk kuliah jarak jauh, jadi bisa dari rumah. Ya, mungkin sekali-sekali perlu juga ketemu sama dosen, tapi waktunya bisa diatur kok. Mudah-mudahan, kalau profesornya punya proyek Bunda bisa dilibatkan disana, jadi bisa gratis untuk biayanya. Tapi proposalnya juga harus yang menarik. Insya Allah, kita kan sedang mencoba dan berusaha. Thesis Bunda kemarin bagus, ayah yakin paling tidak akan sempatlah dilirik oleh profesornya. Maaf ya Nda, ayah memang sengaja buat ini. Habis waktu luang Bunda setelah mengurus rumah hanya habis buat internetan dan balas email-email aja sih...”

Aku tersenyum malu, kucubit pinggangnya manja. Ah, ternyata dia masih memikirkanku dan tak ingin segala potensi dalam diriku berkarat dan tumpul karena termakan waktu. Hhmm, nanti malam aku akan mulai lagi membuka-buka materi-materi kuliahku dulu, banyak baca literatur Inggris lagi, dan...ah, aku merasa api semangatku mulai menghangat dan berkobar. Tidak apa-apa tidak kuliah di ruang kelas, tidak bertemu teman-teman atau dosen di kampus.... Tentu, aku akan lebih bahagia membayangkan belajar ditemani anak-anakku dalam ruang-ruang rumah kami yang nantinya tidak lagi seperti sangkar emas.

Energi Cinta

“Orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan dapat memberi apa-apa.”

Pertama kali mendengar ungkapan di atas, yang terlintas di otak saya adalah bahwa ungkapan ini mencerminkan satu kesombongan seorang kaya. Mencoba merenung lebih jauh, ternyata saya telah terjebak dalam sebuah kedangkalan pemikiran. Memberi, terkadang memang menimbulkan konotasi yang berkaitan dengan materi. Padahal, tidak selamanya aktivitas memberi itu harus diidentikkan dengan harta benda. Semua hal yang membutuhkan interaksi antara 2 pihak atau lebih, selalu akan bersinggungan dengan kata ‘memberi’ dan ‘menerima’. Pertolongan, informasi, nasehat, perhatian, cinta adalah beberapa hal yang bisa kita ‘beri’ dan kita ‘terima’, tanpa harus berwujud suatu materi. Tetapi ada satu kesamaan di antara semua pemberian itu. Ketika kita ingin memberi, kita harus terlebih dahulu memiliki apa yang ingin kita berikan itu.

Kali ini, lagi-lagi, kita bicara tentang CINTA. Tema universal ini memang tidak akan pernah bosan dan usang untuk dibahas. Tapi di sini saya tidak ingin membicarakan tentang keromantisan cinta seorang laki-laki dan perempuan. Saya teringat lirik sebuah lagu ketika saya sekolah dulu:

Don't search in the stars for signs of love, just look around your live you'll find enough. (Se A Vida E – Pet Shop Boys)

Ya. Lihatlah ke sekitar kita. Sangat banyak cinta yang telah kita peroleh. Cinta dari kedua orang tua kita, kakak dan adik kita, sahabat-sahabat, guru, tetangga, bahkan dari orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, mereka senantiasa memberikan cintanya kepada kita. Sebagian mungkin tidak tercetus secara lisan, tapi getaran itu tetap tertangkap melalui tindakan mereka, dan mewarnai hari-hari kita. Bahkan dari makhluk selain manusia pun, kita senantiasa mendapatkan cinta itu.

Ingatkah bahwa matahari hari ini masih bersinar untuk membantu proses fotosintesis tumbuhan, yang kemudian menghasilkan O2 untuk kita hirup? Ingat juga ketika semalam kita memandangi bulan yang menebarkan cahaya dengan cantiknya untuk menemani kegelapan sang malam? Bahwa angin laut dan gelombang telah dan akan senantiasa membantu manusia dalam menepikan ikan untuk ditangkap? Atau perasaan senang kita saat tergelak memperhatikan seekor kucing yang terbelit benang rajutan? Atau kedamaian yang kita rasakan saat melihat sepasang angsa berenang dengan anggunnya di tengah danau? Subhanallah....

"Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Al-Jaatsiyah: 13)

Begitu banyak energi cinta yang telah ditransfer ke dalam kehidupan kita, bukankah akan sangat adil jika kita ingin membalas semua cinta itu dengan energi yang sama, atau bahkan lebih besar? Seorang sahabat pernah menyebutkan,

“Jangan pernah lupa bahwa di alam ini berlaku hukum kekekalan energi. Setiap energi yang kita keluarkan untuk sekitar kita, ia tidak akan pernah hilang menguap begitu saja. Energi itu pasti akan kembali kepada kita, terkadang setelah bertransformasi ke dalam bentuk yang lain.”

Saya termenung mendengar pernyataan itu. Bukan, bukan suatu pamrih yang terbaca darinya, tapi tersirat sebuah ketulusan yang luar biasa. Cukuplah kita mengharapkan ‘pengembalian’ energi itu dalam bentuk pahala dan catatan amal kebaikan di sisi Allah SWT.

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS. Mukmin: 17)

Sampai titik ini, semoga secara diam-diam telah terbersit di hati kita sebuah keinginan untuk membagi energi cinta itu, lalu bersama-sama kita bertanya: Bagaimana caranya? Maha Besar Allah yang telah menyiapkan jawaban atas pertanyaan itu:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (QS. Maryam: 96)

Subhanallah... Lihatlah! Ternyata rasa kasih sayang itu akan Allah tanamkan ke dalam hati orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Tentu saja rasa kasih sayang yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan syariat Islam, kasih sayang yang bernilai ibadah, menjadikan orang-orang yang melaksanakannya mendapat naungan Allah pada hari dimana tiada naungan kecuali dari-Nya, kasih sayang yang membawa orang-orang yang melaksanakannya naik ke atas mimbar cahaya dan membuat iri para nabi dan syuhada.

Manusia adalah makhluk sosial. Setiap hari kita dituntut untuk berinteraksi dengan berbagai macam orang. Mulai dari membuka mata, hingga ketika kita akan menutupnya untuk menunaikan hak istirahat tubuh di waktu malam, kita senantiasa akan bertemu dengan berbagai macam orang. Berinteraksi, sesungguhnya adalah salah satu cara kita untuk memberi energi cinta kepada sekitar kita.

Pada alam kita memberi cinta, dengan menjaga keseimbangannya dan tidak membuat kerusakan. Pada hewan dan tumbuhan pun kita memberi cinta, dengan memberikan hak mereka ketika menjadi tanggungan kita, menampakkan akhlak yang terbaik. Dan pada manusia, transfer energi cinta itu dapat kita lakukan dalam berbagai cara, baik langsung maupun tidak.

Izinkan saya menganalogikan hati manusia seperti sebuah kolam penampungan. Di dasar kolam itu, terdapat banyak keran yang dapat dibuka/tutup untuk pengaturan keluarnya isi kolam. Tentu saja, keran itu akan mengalirkan apa yang ditampung dalam kolam hati kita. Dan sebuah keniscayaan akan berlaku, ketika keran tersebut dibuka terus-menerus tanpa ada aliran masuk kembali, kolam itu akan menjadi kering. Maka, berinteraksi adalah aktivitas kita dalam membuka ‘keran’ untuk mencurahkan energi cinta. Dan agar kasih sayang sebenarnya yang teralirkan, ‘kolam’ tersebut haruslah diisi dengan materi yang sama, yaitu cinta dan kasih sayang.

Kembalilah sejenak untuk membaca firman Allah di atas. Untuk menanamkan rasa kasih sayang di hati kita, kuncinya adalah beriman dan beramal soleh. Sahabat... mari me-recharge energi cinta kita hanya dari sumber cinta yang abadi, Dia Yang Memiliki cinta tak terperi, cinta yang sangat sempurna. Mari, kita isi kembali energi cinta di hati kita dengan shalat-shalat khusyu' kita, tilawah-tilawah tartil kita, shaum sunnah kita, sedekah dan infak kita hari ini, doa-doa panjang kita di waktu malam, serta dari semua pos ibadah dan amal soleh yang telah Allah sediakan bagi kita.

Karena, untuk membuka ‘keran’ pencurahan energi cinta dari ‘kolam’ penampungan yang ada pada hati ini, terlalu sombong rasanya jika kita tidak pernah mengisi kolam tersebut dengan energi cinta dari-Nya. Ya, jika kolam itu sudah kering, apa yang bisa kita bagi?